Itu terjadi buntut Genosida Gaza di Palestina dan pembantaian di Lebanon yang sedang berlangsung oleh Israel.
Israel sedang mencari preteks mengganggu negara-negara sekitar untuk mewujudkan ambisi 'Greater Israel' dengan bantuan penuh AS dkk di belakang layar.
Namun beda dengan Presiden Irak di masa lalu Saddam Husein dan Pemimpin Libya Moammar Qaddafi yanh mudah terpancing dan terjebak dengan skenario lawannya, Presiden Bshar Al Assad menunjukkan 'kesabaran strategis' dan terkesan tak mengiraukan bombardir Israel itu serta upaya Israel memasuki wilayah Suriah di Qunaitra.
Meski sikap ini diledek oleh rakyatnya terutama oleh kalangan Druze di selatan Suriah Suwaida, Assad tak bergeming. Masyarakat Druze yang dalam orasinya selalu menuntut Assad lengser dan memilih berpihak kepada pemerintahan SDF Suriah Timur di Hasakah yang didukung AS bahkan pernah menyebut keinginan untuk bergabung dengan Tel Aviv. Israel memiliki warga Druze yang dikatagorikan sebagi agama terpisah meski di Suriah mengaku bagian dari Islam tapi selain Sunni dan Syiah (ajaran asalnya).
Beberapa pengamat memperkirakan sikap kesabaran strategis Assad itu dipicu oleh beberapa hal.
1. Assad tahu diri dan mengakui hegemoni AS di Timur Tengah baik yang muncul dengan wajah Pentagon dan koalisinya maupun yang muncul di belakang layar dengan wajah Israel sebagai 'front office'.
2. Meski Suriah didukung oleh dua negara guarantor Rusia dan Iran, kemampuan militer Suriah jauh di bawah AS dkk bahkan di bawah Israel mengingat Suriah masih belum sembuh total usai konflik berkepanjangan dan embargo ekonomi yang betubi-tubi dari AS dkk.
3. Karena sadar diri akan kekuatannya, Assad diperkirakan tidak akan melakukan perlawan 'all out' jikapun Israel merengsek masuk dan menguasai tiga provinsi seperti Qunaitra, Daraa dan Suwaida yang menjadi jembatan yang menghubungkan Israel dengan wilayah Al Rukban (Pangkalan Al Tanf) dan wilayah SDF yang dikuasai AS dkk.
4. Sikap itu sebenarnya bukan hal baru. Assad selama ini tidak pernah melakukan upaya serius untuk membebaskan wilayahnya yang diduduki AS dkk seperti wilayah SDF/SDC/AANES di Timur Suriah dengan 70 persen kekayaan migas Suriah dan wilayah Al Rukban itu.
Assad lebih memilih menggunakan proksi yakni pasukan suku atau tribal di daerah itu untuk sesekali melakukan serangan simbolis untuk perlawanan. Begitu juga Iran dan Rusia hanya melakukan serangan 'tit for tat' kepada AS jika pihaknya diserang.
5. Diperkirakan Assad akan sebisa mungkin mempertahankan Kota Damaskus yang menjadi ibukota Suriah sebagai simbol kedaulatan meski bisa saja nanti dengan rakusnya Israel akan menduduki pinggiran Damaskus.
6. Baik Assad maupun Rusia dan Iran sama-sama mengerti bahwa Israel tak akan mengganti rejim (regime change) di Suriah karena Tel Aviv lebih diuntungkan jika Assad tetap berkuasa dibandingkan pemerintahan lain seperti penyelamat (SG) di Idlib atau sementara (SIG) di Azaz yang didukung Turkiye.
7. Jika skenario Damaskus dikuasai oleh Israel, Assad masih memiliki basis kekuatan di Latakia dan Tartus yang mayoritas Syiah Alawiyah plus sebagian wilayah Aleppo, Homs dan Hama.
Dari Latakia dan Tartus Assad bisa tetap melakukan gerilya berkepanjangan untuk mempertahankan kekuasaannya.
8. Jika AS dkk mengambil alih ambisi Israel dan berusaha menghabisi Assad sebagaimana Saddam dan Qaddafi, juga tidak mudah karena Assad bisa merapat ke pangkalan Rusia di Tartus untuk suaka. Sebagai negara nuklir, Rusia juga tidak akan menyerahkan pangkalan militernya di Tartus dikuasai AS dkk begitu saja meski untuk kepentingan Israel.
9. Jika AS menggunakan pasukan SDF untuk merebut pangkalan Rusia maka hal ini sulit diwujudkan mengingat SDF juga dekat dengan Rusia usai Turkiye membangun zona penyangga di perbatasan Suriah yang kini menampung 1/2 pengungsi Suriah dengan ibukota Azaz.
10. Dalam kondisi seperti ini, Assad bisa saja merasa bahwa yang paling berkepentingan untuk menghentikan gerak laju ambisi 'greater Israel' adalah Iran dan Turki. Dibanding jika Assad harus mati sia-sia sebagaimana yang menimpa Saddam dan Qaddafi.
Hal itu dikarenakan, jika greater Israel terbentuk, praktis Israel akan berbatasan langsung dengan Iran dan Turki di utara. Jika ini terjadi kampanye genosida Israel, dengan bom bunker busternya, akan berlanjut ke Tehran dan Ankara setelah Gaza dan Lebanon yang sekarang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar